Thursday, January 22, 2009

The Map is not a Territory..!

Jika melihat judul artikel diatas, mungkin anda akan sedikit memicingkan mata pertanda berusaha untuk memahami apa maksud yang tersirat dari judul tersebut. ‘The Map is not territory', Ya.., mungkin benar maksudnya jika kita menerjemahkannya dengan bahasa sederhana, 'Peta bukanlah sebuah Wilayah'.

Pertanyaannya adalah, Apa maksud dari statement tersebut..? Bukankah selama ini peta senantiasa kita gunakan sebagai petunjuk untuk mengenali sebuah wilayah tertentu..? Okay, mari memperjelas segala sesuatu yang belum jelas.. :D

Statement tersebut merupakan salah satu ungkapan yang selayaknya kita pahami dalam berkomunikasi. Statement tersebut ingin menjelaskan bahwa pada dasanya 'Kata-kata yang kita gunakan dalam berkomunikasi BUKANLAH peristiwa atau representasi dari apa yang kita sampaikan (The words we use are NOT the event or the item they represent). Terkadang ketika dalam berkomunikasi, kita menyampaikan sebuah berita/peristiwa (event), sebuah gagasan atau informasi apapun itu, kita kemudian mengasumsikan bahwa apa yang telah kita katakan telah dipahami dengan baik oleh lawan bicara kita, sehingga representasi dari peristiwa atau gagasan kita kemudian dapat diduplikasi dengan sama baiknya oleh lawan bicara kita. Anda tentu tahu hasilnya, bahwa terkadang asumsi ini tidak berjalan dengan baik, bukan begitu..? Inilah alasan utama sehingga dikatakan bahwa Peta bukanlah sebuah wilayah.

Begitu banyak batasan dalam berkomunikasi, diantaranya paradigma, cara berfikir dan tentunya cara menyampaikan informasi menjadi faktor dalam hal ini. Ketika anda menyampaikan sebuah informasi kepada lawan bicara anda, anda harus memahami bahwa pada dasarnya apa yang ada dikepala anda, yang kemudian anda terjemahkan kedalam kata-kata, bisa saja berbeda dengan apa yang ada dikepala lawan bicara anda ketika ia menerima pesan/ informasi tersebut. Mengapa..? sebab ‘peta’ yang anda gunakan dengan ‘peta’ yang digunakan oleh lawan bicara anda dalam memahami informasi tersebut belum tentu sama. Sudah cukup Jelas..? Mudah-mudahan demikian.

Ada cerita dimana sekumpulan remaja yang memiliki hobi bersepeda melakukan sebuah perjalanan wisata kesebuah tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Karena mereka belum mengenal wilayah tersebut dengan detail, mereka kemudian membeli sebuah peta yang akan mereka gunakan sebagai petunjuk. Karena kota yang mereka kunjungi masih dapat dikatakan wilayah pedesaan, sehingga mereka berkesimpulan akan lebih menyenangkan jika dapat bepergian ke wilayah-wilayah tertentu di kota tersebut menggunakan sepeda. Sekaligus menyalurkan hobilah fikir mereka. Kumpulan remaja itupun kemudian menyewa sepeda di sebuah tempat penyewaan, dan kemudian berdiskusi guna menentukan rute perjalanan mereka.

Merekapun akhirnya sepakat menuju kesebuah lokasi wisata yang tersedia di kota tersebut, dan setelah melihat peta, merekapun akhirnya mengetahui bahwa jarak dari tempat mereka berada ke lokasi wisata tersebut berjarak sekitar 30 km jauhnya. Setelah menimbang berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya, mereka yakin bahwa waktu tempuh bersepeda untuk sampai dilokasi tersebut kurang lebih 30 menit lamanya.

Apa yang terjadi..? Akhirnya mereka sampai dilokasi wisata tersebut setelah mengayuh sepeda selama 4 jam lebih..! Merekapun tidak dapat menikmati pesona wisata dilokasi tersebut disebabkan keletihan.

Apa yang sebenarnya mereka alami..? Apakah pengalaman mereka telah keliru memberikan pertimbangan..? Ataukah petanya tidak akurat..? Jawabnya sederhana, Peta yang ada dikepala mereka yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya, dengan peta yang mereka gunakan sebagai petunjuk tidaklah sesuai. Mungkin jika kondisi normal, maka jarak 30 km dapat ditempuh dalam 30 menit lamanya, sebagaimana pengalaman mereka sebelumnya, namun ternyata rute 30 km yang harus mereka tempuh untuk sampai dilokasi wisata tersebut merupakan rute pendakian yang terjal. Apa yang tertulis dalam peta bukan tidak tepat, tapi Peta tersebut tidaklah merepresentasikan wilayah sebenarnya…

Analogi dalam cerita diatas, tentu juga terjadi dalam dunia komunikasi. Untuk itu kita perlu senantiasa melebarkan ‘peta’ yang kita miliki, agar kemampuan kita dalam berkomunikasi juga dapat menjadi lebih baik… Bukan begitu Kawan…? :)
Read More...

Friday, January 9, 2009

Pilihan atau Keterpaksaan..?

Di sebuah desa, entah dimana… ketika cerita ini berawal, tinggalah seorang bijak yang dipercaya mampu menjawab segala permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sekitarnya. Tidak lama setelah kabar itu beredar, tidak sedikit orang yang telah mempertanyakan berbagai hal yang dirasa sulit untuk mereka pecahkan, dan dengan kata-kata bijaknya, ia telah membantu memecahkan persoalan-persoalan tersebut.
Singkat cerita seorang pemuda ingin membuktikan kebenaran kabar tersebut, dan setelah beberapa lama berfikir, iapun menemukan sebuah ide untuk membuktikan kebenaran cerita mengenai orang bijak tersebut.

Dengan senyum penuh kepercayaan, berkunjunglah ia ketempat dimana orang bijak tersebut tinggal, dengan membawa sebuah pertanyaan yang menurutnya tidak mungkin akan dijawab oleh sang bijak tadi.

Sesampainya di tempat si orang bijak tersebut, ia pun langsung menyampaikan sebuah pertanyaan: “Wahai orang tua, aku telah mendengar cerita mengenai dirimu, dan kedatanganku kali ini adalah untuk membuktikan, apakah memang benar engkau seorang yang bijak yang dapat memecahkan setiap permasalahan di muka bumi ini. Jika memang demikian, engkau pasti tahu jawaban dari pertanyaan yang akan kusampaikan".

"Apakah gerangan permasalahan yang ingin kamu sampaikan, wahai Anakku", jawab si orang bijak.

Dengan memegang seekor burung pipit yang disembunyikan dibelakang badannya, mulailah si pemuda ini bertanya. " Apakah burung yang saya pegang ini dalam keadaan hidup atau telah mati?" (Si pemuda ini telah menyiapkan perangkap, jika si orang bijak menjawab burungnya masih hidup, maka diapun dengan mudahnya mematahkan leher burung kecil tersebut, sehingga jawaban si orang bijak tidak akan sesuai dengan kenyataan, dan demikian pula sebaliknya, jika si orang bijak mengatakan bahwa burung tsb telah mati, maka diapun akan melepaskan burung pipit tersebut hidup-hidup. Sebuah perangkap yang tentunya sangat licik). Si pemuda tersebut sudah sangat yakin bahwa kali ini si orang bijak akan menemui kegagalan.

Namun alangkah terkejutnya ia, ketika dengan tenangnya si Orang Bijak tersebut mengatakan…. " Wahai anakku, hidup matinya burung yang engkau pegang saat ini, tidak didasarkan dari apa yang akan kukatakan… sebab hidup matinya burung tersebut tergantung padamu…engkaulah yang dapat MEMILIH…, apakah burung itu hidup atau telah mati….".

Apa pesan yang ingin disampaikan cerita tersebut…?

PILIHAN…. sebuah kata yang mungkin seringkali kita dengar, namun kita terkadang tidak menyadari bahwa PILIHAN senantiasa mengiringi langkah kita, perilaku-perilaku kita, bahkan keseluruhan hidup kita. Pernahkah kita MEMILIH yang terbaik untuk diri kita… atau membiarkan situasi yang mengendalikan PILIHAN-PILIHAN tersebut, jika memang demikian, mungkin itu yang dinamakan KETERPAKSAAN.

PILIHAN atau KETERPAKSAAN…? Anda yang dapat menentukannya!
Read More...

Ego dan Kesadaran Sejati

Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan. Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan ember dan menyikat lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya bercucuran deras. Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya, “apa yang sedang Anda lakukan?”
Sang Guru menjawab, “tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka. Mereka pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan. Karena itu, saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya.”

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain. Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain. Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence). Akan tetapi, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.
Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.

Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang perlu kita lakukan.

Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana
untuk hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong.

Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan, label, dan segala tampak luar lainnya. Yang kini kita lihat adalah tampak dalam. Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri. Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri. Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri.

Kalau begitu, apa yang bisa kita sombongkan?

Source: Unknown
Read More...

Sunday, January 4, 2009

New Year Resolution; "Change"

Seorang filsuf Yunani, Heraclitus pada abad ke 18 pernah mengatakan "Nothing endures, but change”, yang terjemahan sederhananya dapat berarti, "Tidak ada sesuatupun yang tetap atau bertahan, kecuali Perubahan."
Lantas apa maksud pernyataan tersebut dengan judul artikel kita kali ini..? Jawabannya sederhana, apa yang dikatakan oleh Heraclitus tersebut, pada banyak orang baik sadar atau tidak, senantiasa dijadikan semangat dalam menyusun sebuah New Year Resolution (NYR).

Nah, memasuki tahun baru 2009, sebagaimana penyambutan atawa perayaan tahun baru sebelumnya, kita seringkali mendengar tentang NYR. Apa sih NYR itu? Mungkin penjelasan singkatnya seperti ini, NYR adalah sebuah niat atau rencana yang kita inginkan untuk bisa diwujudkan pada tahun mendatang. Lantas mengapa resolusi itu bertepatan dengan Tahun baru? singkat, karena momentum Tahun Baru dapat dianggap sebagai patokan untuk melakukan sebuah perubahan yang lebih baik pada tahun yang baru datang.

Satu hal yang seringkali terjadi adalah, kita telah begitu semangatnya dalam menetapkan apa yang menjadi NYR kita, namun seiring waktu berjalan, kita mulai lupa dan akhirnya mengabaikannya, lantas larut dalam kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya kita lakukan. Hingga kemudian kita sadari di akhir tahun bahwa tak satupun dari resolusi tersebut sempat kita lakukan. :D

Apakah hal ini juga anda alami?, Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah kita terlalu sibuk, hingga melupakan NYR kita? Satu hal yang mungkin mendasari bahwa banyak diantara kita yang percaya bahwa melakukan sebuah perubahan tidak semudah yang kita bayangkan.

Ibarat seperti pegas, ketika kita ingin menarik diri keluar dari kebiasaan-kebiasaan lama yang ingin kita ubah, maka kebiasaan tersebut cenderung melakukan perlawanan, selain itu, baik sadar atau tidak, kita mulai dihinggapi beberapa kecemasan seperti
ada kemungkinan kita kehilangan kontrol, adanya ketidakpastian dari perubahan tersebut, ketakutan mendapat hasil yang berbeda, Beban kerja yang mungkin bertambah dan sederet alasan lainnya.

Meski demikian, kita telah melihat bahwa banyak keberhasilan dimulai dari kesanggupan kita untuk melepaskan diri dari kebiasaan lama, sebagaimana yang Elbert Einstein katakan, "Masalah signifikan yang kita hadapi saat ini, tidak dapat kita pecahkan dengan cara yang sama ketika masalah tersebut kita ciptakan". Artinya adalah, ketika anda tidak berubah, niscaya, masalah yang anda hadapi tidak akan dapat anda pecahkan dengan lebih baik.

Pertanyaan pentingnya adalah, Bagaimana kita dapat melakukan perubahan dan melepaskan ketergantungan dari kebiasaan-kebiasaan yang lama..?

Berikut tips sederhananya.
Prinsip Pertama: YAKINI dan PERCAYAI diri Anda bahwa Anda dapat berubah. Banyak orang ingin berubah, namun secara tidak sadar sebenarnya ia tidak ingin berubah. atau dengan kata lain ia tidak percaya bahwa ia dapat berubah. Untuk membantu anda dalam hal ini, Anda harus memeriksa dan kalau bisa memperbaiki Cara Anda Berfikir tentang Perubahan yang anda inginkan.

Prinsip Kedua: KONSISTENSI. Tak pelak dibutuhkan konsistensi untuk berubah, selama anda tidak konsisten, jangan harap anda dapat berubah. sekecil apapun perubahan yang anda lakukan, anda harus tetap berpegang pada prinsip ini.

Prinsip Ketiga: UKUR Perubahan yang anda lakukan untuk memberikan anda petunjuk dalam perubahan tersebut. Segala sesuatu yang Anda lakukan mestinya ada pengukurannya. hal ini membantu Anda untuk tetap pada track dan mengetahui progressnya. bagaimana cara mengukurnya? Penelitian membuktikan, agar seseorang dapat berubah 100%, perubahan tersebut harus dilakukan selama 30 hari berturut-turut. Mengapa 30 hari? Sebab waktu 30 hari adalah waktu yang dibutuhkan oleh tubuh untuk mengganti keseluruhan sel yang ada pada diri Anda. Artinya jika anda konsisten melakukan perubahan yang anda inginkan selama 30 hari berturut-turut, dipastikan perubahan itu akan menjadi kebiasaan yang baru dan mengganti kebiasaan yang lama.

Cukup mudah bukan..? nah sekarang tergantung dari diri anda. Tanyakan pada diri anda, apakah anda telah siap untuk berubah..?
Read More...

Trik-Tips Blog Trick Blog